Dhana bersyukur karena ia sama sekali tidak ragu dan
yakin menjalani keputusan mengesampingkan kuliah untuk merawat ibunya. Ia
merasa, Allah yang membuat hatinya mantap. Selain itu ia berusaha melaksanakan
pesan Ayah agar dia menjadi lelaki yang mampu bertnaggungjawab. Dhana
mengenang, ketika ia memijit ayahnya, beliau berpesan, “Jika nanti ada sesuatu
yang buruk menimpa keluarga, kaulah yang harus menggantikan tugas Bapak, dan
kamu harus siap.”
“Saya pikir itu pembicaraan biasa. Saat Bapak
meninggal, saya jadi ingat sekali pesan itu. Ketika Ibu sakit, saya semakin
yakin, ini yang dimaksud Bapak. Mungkin pesan itu yang membantu saya untuk
prioritas ke Ibu. Hanya Ibu, tidak ada hal lain yang saya pikirkan. Saya tahu,
saya juga punya kehidupan sendiri yang harus saya tata, tapi saya yakin, saya
tidak salah meninggalkan masa depan dan meilih Ibu. Itu keputusan dan komitmen
saya. Biarlah masa depan tidak jelas, yang penting saya puas bisa mengabdikan
diri pada orang tua,” ucapnya.
Usaha mencari kesembuhan fisik serta menjaga mental
ibunya agar terus s emangat menjalani pengobatan dilakukan Dhana tanpa henti.
“Saya tidak pernah putus asa. Saya menikmati saja. Bahkan saya banyak belajar
dari semua ini. Saya coba resapi. Pelajaran yang palin besar itu kesabaran.
Kondisi ini membuat saya harus banyak mengalah, bersabar, dan menerima. Ini
pasti ada maksudnya, ada hikmahnya,” ujarnya.
Di tengah berbagai usaha yang menguras tenaga, waktu,
dan tentu juga uang, Dhana justru kian merasakan betapa banyak kemudahan tak
terduga. “Banyak hal aneh yang saya rasa kayaknya tidak mungkin kalau saya
balik lagi, kondisi itu akan terjadi lagi,” kenangnya.
Dhana yang sering bolos kuliah, akhirnya harus
menerima risiko tidak diperbolehkan mengikuti ujian oleh dosen yang kebetulan
dikenal sangat disiplin dan tidak gemar menerima alasan apapun dari mahasiswa
yang sering tidak hadir kuliah. “Saya menghadap dosen itu, saya belum ngomong
apa-apa, dia bilang, ya sudah ikut ujian saja. Banyak pertolongan di luar
dugaan. Masalah obat juga. Ibu sangat membutuhkan obat, tapi kebetulan stock
habis. Cari kemana-mana tidak ada, padahal ibu sangat membutuhkan dan harus
cepat. Saya kirim kabar ke banyak kenalan, tidak lama ada yang memberitahu ada
obat. gampang sekali,” tuturnya.
Selain itu, Dhana yang memutuskan tidak peduli masa
depan asalkan ibunya bisa mendapatkan perawatan, obat dan segala yang terbaik,
akhirnya bukan hanya mampu menyelesaikan sekolahnya hingga Pasca Sarjana, namun
juga dalam kondisi yang sangat baik di pekerjaan maupun bisnis keluarga yang
dikelolanya. “Saya merasa, ternyata ada yang menjaga saya. Kuliah bisa selesai
tepat waktu, usaha membesar, dan banyak hal lainnya. Semua kemudahan itu, saya
pikir justru tidak bisa saya dapatkan kalau kondisi saya normal-normal saja.
Buat orang lain mungkin biasa saja, tapi bagi saya tidak. Ini Allah yang
kasih,” ujarnya.
Semua kenyataan itu, ditambah dengan keyakinan pada
ajaran agama yang memang memerintahkan agar setiap anak berbakti pada ibunya
kian menguatkan Dhana untuk terus memegang komitmennya, mendahulukan
kepentingan Ibu di atas semua urusan lainnya, termasuk memberi pengertian
istri, kalau ada apa-apa antara Ibu dan istri, maka dia akan mendahulukan
ibunya. “Saya sangat bersyukur diberikan pendamping seorang istri yang sangat
mengerti dan memahami keadaan saya. Saya juga kadang-kadang bersenang-senang
dan pergi ke mall, tapi pikiran terus terkoneksi dengan Ibu. Ketika sedang
nonton, Ibu telepeon, saya bilang sedang di luar dan sebentar lagi pulang. Dan
saya memang langsung pulang,” ucapnya.
Soal bisnis, sudah biasa bagi Dhana untuk menjadwal
ulang atau bahkan membatalkan pertemuan apapun, bila bersamaan dengan jadwal
cuci darah ibunya. “Saya tidak peduli kehilangan kesempatan. Malah saya pikir
itu lebih bagus. Daripada saya paksakan nanti malah kepikiran,” ujarnya.
Lagi-lagi kemudahan tak terduga juga kembali dirasakan
Dhana ketika ia menunda sebuah pertemuan yang diprediksi akan mengalirkan
keuntungan finansial dalam jumlah lumayan. Penundaan itu membuat rekan
bisnisnya merasa heran dan mendesak ingin tahu penyebabnya. Dhana yang
sebenarnya tidak gemar menceritakan kondisi keluarga akhirnya menjelaskan kalau
hari itu dia harus mengantar ibunya cuci darah. Tak diduga, rekan bisnis itu
malah sangat bersimpati dan hal itu mempermudah hubungan bisnis mereka karena
dia merasa orang yang peduli dengan ibunya berarti juga orang yang bisa
dipercaya.
Keseriusan Dhana menyesuaikan aktifitasnya dengan
kondisi Ibu tidak berarti ia tidak sempat kemana-mana. Ke luar kota, bahkan ke
luar negeri juga masih dilakukannya meski dengan berbagai persiapan ekstra.
Jauh hari sebelum keberangkatan, ia berusaha maksimal agar kondisi Ibu dalam
keadaan prima selama hari-hari kepergiaannya. “Kalau kondisi tidak bagus, saya
tidak jadi pergi. Saya siapkan kandidat. tante saya datangkan seminggu sebelum
berangkat. Saya training dulu. ketika ibu sudah merasa nyaman, baru saya
tinggal,” turutnya.
Bagaimana supaya ibunya lebih nyaman, lebih bisa
menikmati hidup, dan berkurang rasa sakitnya terus menjadi pusat pemikiran
Dhana. Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan,
Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras
dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan
kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya. “Saya biasa lihat
kotoran Ibu. Dari baunya segala macam, saya bisa tahu apa makanan yang
dimakannya. Warnanya kalau begini gimana, kalau ada darahnya berarti ambeien
ibu sedang sedang kumat. Jadi, sekaligus memantau. Saya bilang ke pembantu,
nggak apa-apa kamu jijik, itu memang bukan pekerjaan kamu, biar saya saja,” ujarnya.
Dhana menambahkan, selain agar ibunya nyaman, ia rela
melakukan itu karena ia terpikir betapa dulu waktu masih kecil, ibunya juga
sering melakukan hal serupa, bahkan mungkin lebih. “Ingatan dulu ibu juga
melakukan ini sangat memotivasi saya. Ibu saya, melakukan lebih dibanding yang
sekarang saya lakukan. kasih ibu itu luar biasa,” tuturnya.
Ia juga mendukung sepenuhnya, dan menyediakan sarana
maksimal, ketika Ibunya berniat kuliah di sebuah universitas islam untuk
memperdalam agama. Bukan hanya menyediakan mobil dan sopir untuk antar jemput,
namun ia juga kerap menemani ibunya terutama bila kesehatannya sedang menurun,
tapi sang ibu tetap ingin kuliah.
Ketika kondisinya kian menurun, dan kemudian Ibu yang
terbiasa aktif dan enerjik itu tidak bisa berjalan lagi, Dhana menelepon
teman-teman kuliah ibunya agar mereka memindahkan kuliah ke rumahnya. Sejak
itu, tiap hari Senin, ibu dan teman-temannya mengadakan pengajian di kediaman
keluarganya di bilangan Jatiwaringin, Jakarta Timur.
“Ketika akhirnya bisa berjalan, Ibu drop lagi. Saya
bilang, Ibu cuma tidak bisa jalan. Tapi yang lain tidak sakit. Tapi memang
perlu waktu. Ada tindakan lain juga. Saya lebih intens bersama ibu. Saya pulang
cepat. Saya tanya mau makan apa. Kalau ibu ingin sesuatu, secepatnya saya
usahakan terpenuhi. Itu akhirnya bisa menaikkan mental lagi,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar