Kisahnya dimuat di majalah Tarbawi tahun 2007. meski hampir 10 tahun berselang, kisahnya selalu mengingatkan. Tidak ada yang sia sia dari sebuah bakti
--------
"Meski
dalam Kondisi Sakit, Berkah dari Ridha ibu Tidak Berubah"
"
Melihat orang yang saya cintai menderita, itu menjadi penderitaan juga bagi
saya. Tapi saya berusaha bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan
ibu........"
Ia membuat
beberapa orang yang bergaul dengannya merasa iri. Sebagian berkomentar, lelaki
muda itu telah dekat dengan pintu surga. Beberapa yang lain berpendapat,
sungguh beruntung ia mampu merawat ibunda tercinta dengan kualitas maksimal.
Hampir semuanya berdecak kagum. Namun Dhana Widyatmaka (33 tahun), putra
pertama dari Ibu Sundari (59 tahun) itu hanya berucap, apa yang ia lakukan
biasa-biasa saja."saya tidak pernah melakukan sesuatu yang hebat. Saya
hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini kewajiban. Saya yakin semua
anak juga melakukan hal yang sama," ucapnya.
Ditemui di sela-sela rutinitasnya menjaga dan menemani
sang ibu yang dua kali dalam seminggu harus cuci darah, Dhana mengisahkan,
selama tiga belas tahun ini, ibu menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Semua
berawal ketika bulan Februari 1995, Ibu Sundari divonis gagal ginjal
“Ibu batuk-batuk, mual. Saya pikir sakit biasa. Waktu
dibawa ke rumah sakit, kadar ureumnya di atas 300, padahal orang normal harus
di bawah 40. Artinya racun dalam darah sudah menumpuk. Jadi harus langsung cuci
darah. Saat itu, kadar hemoglobin (Hb) Ibu hanya 3,4 sehingga harus transfusi
darah, padahal ketika itu bulan puasa, persediaan darah di PMI sangat terbatas
sehingga harus mencari donor darahnya, ketika itu saya sangat bersyukur
beberapa teman ibu dan seorang suster bersedia mendonorkan darahnya” terang
Dhana yang ketika itu masih duduk di tingkat dua sebuah sekolah tinggi di
Jakarta.
Sesungguhnya rasa duka kehilangan almarhum ayah dua
tahun sebelumnya masih membekas di hati Dhana. Baginya, kepergian ayah
menghadap Sang Maha Kuasa bagaikan kiamat kecil. “Saya tidak menyangka. Bapak
masih gagah, karir sedang posisi menanjak, dan saya baru masuk kuliah,”
kenangnya.
Kepergian ayah menjadikan sulung dari dua bersaudara
yang baru saja lepas SMA itu berubah menjadi kepala keluarga. Tak heran jika
dialah yang pertama diberitahu dokter tentang keharusan ibunya untuk cuci
darah. Sebuah kabar yang tentu tidak mudah didengar. “Awalnya Ibu tidak tahu.
Ibu pikir hanya sekali cuci darah, setelah itu sembuh. Dokter panggil saya,
katanya ini harus rutin cuci darah. Saya kepala keluarga dan memang harus
menanggung semuanya,” kenangnya.
Dhana sendiri, meski sangat sedih mendengar kondisi
kesehatan ibunya, namun saat itu ia merasa optimis, penyakit Ibu akan sembuh
dan keadaan akan membaik kembali. “Shock, tapi tidak berpikir bahwa ini tidak
bisa sembuh. Saat itu saya tidak menyadari. Dokter juga tidak bilang secara
gamblang kalau tidak bisa sembuh. Tahun pertama belum merasa bahwa ini akan menjadi
rutinitas. Saya anggap nanti akan ada akhir untuk sembuh,” ujarnya.
Keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya
menyemangati Dhana dan ibunya untuk tak henti-hentinya mencari penyembuhan,
baik medis maupun obat alternatif. Sejak 1995 hingga 2004, boleh dibilang semua
pengobatan alternatif yang pernah dilihat di televisi pernah dicoba, namun
hingga sekarang, ibunda Dhana tetap harus cuci darah.
Di awal mendengar vonis gagal ginjal, Ibu Sundari
sempat mengalami masa-masa penolakan dan kesedihan. Penanganan cepat serta
perawatan medis yang sangat memadai memang mampu mengembalikan kondisi
fisiknya, kecuali ginjal. Namun keharusan cuci darah sangat menguras
ketabahannya. Alhasil, di tahun pertama sejak ibunya sakit, Dhana lebih banyak
mengerahkan segenap daya dan usaha untuk membantu mengangkat moril Sang Ibu.
“Secara fisik ibu agak bagus, tapi mentalnya down
sekali. Setiap habis cuci darah, pulang, balik lagi ke rumah sakit. Lebih
karena psikis. Kadang ada rasa tidak enak di badan, sampai di rumah sakit
diperiksa dokter tidak ada apa-apa. Obatnya cuma istirahat. Ibu juga sering
bertanya, kapan tidak cuci darah lagi,” tuturnya.
Selain stress karena sudah berusaha berbagai cara tapi
tidak juga sembuh, proses cuci darah juga mengandung bagian yang cukup sakit
dan menakutkan. “Ada saatnya Ibu merasa, ngapain hidup berganatung mesin terus.
Kalau besok mau dicuci sudah stress, memikirkan akan ditusuk jarum. Sampai
sekarang pun Ibu masih selalu kesakitan waktu ditusuk. Saya sangat sedih
melihatnya. Melihat orang yang saya cintai ,menderita, itu menjadi penderitaan
juga bagi saya. Tapi saya berusaha bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan
Ibu, ucapnya”
Sadar kondisi ibunya sangat labil, Dhana memutuskan
konsentrasi sepenuhnya untuk menemani Ibu menjalani berbagai proses pengobatan.
Tiap hari, sepulang kuliah, Dhana langsung ke rumah sakit. Menghabiskan malam
di lantai di bawah tempat tidur ibunya menjadi bagian pola kehidupan Dhana.
Menurutnya, posisi di bawah tempat tidur membuatnya cepat mengetahui kalau ada
apa-apa. Pagi-pagi biasanya ia pulang sebentar sekadar berganti baju dan
membersihkan badan, lalu kuliah. “Saya punya kos, tapi tidak pernah saya
tinggali karena kondisi ibu sangat tidak stabil. Selama kuliah tidak sempat
bersosialisasi dengan teman-teman karena waktunya tidak memungkinkan. Saya
lebih banyak ke Ibu. Saya hanya meninggalkan Ibu ketika kuliah,” tuturnya.
Pilihan untuk mendahulukan Ibu di atas semua urusan
lainnya, secara logika, sebenarnya tidak selalu mudah bagi Dhana, yang
kebetulan kuliah di sekolah yang lumayan ketat dalam kedisiplinan. Ketika
kondisi ibunya sedang sangat menurun, Dhana memilih tidak kuliah agar bisa
menemani ibunya. Keputusan itu, bukan hanya melewatkan kesempatan mendengar
materi kuliah langsung dari dosen, tapi juga membuatnya kesulitan mencapai
batas absen yang diijinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar