Senin, 12 Desember 2016

Pelajaran dari Yg Berbakti (Bag 1 of 3)



Kisahnya dimuat di majalah Tarbawi tahun 2007. meski hampir 10 tahun berselang, kisahnya selalu mengingatkan. Tidak ada yang sia sia dari sebuah bakti
--------
"Meski dalam Kondisi Sakit, Berkah dari Ridha ibu Tidak Berubah"
" Melihat orang yang saya cintai menderita, itu menjadi penderitaan juga bagi saya. Tapi saya berusaha bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan ibu........"
Ia membuat beberapa orang yang bergaul dengannya merasa iri. Sebagian berkomentar, lelaki muda itu telah dekat dengan pintu surga. Beberapa yang lain berpendapat, sungguh beruntung ia mampu merawat ibunda tercinta dengan kualitas maksimal. Hampir semuanya berdecak kagum. Namun Dhana Widyatmaka (33 tahun), putra pertama dari Ibu Sundari (59 tahun) itu hanya berucap, apa yang ia lakukan biasa-biasa saja."saya tidak pernah melakukan sesuatu yang hebat. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini kewajiban. Saya yakin semua anak juga melakukan hal yang sama," ucapnya.
Ditemui di sela-sela rutinitasnya menjaga dan menemani sang ibu yang dua kali dalam seminggu harus cuci darah, Dhana mengisahkan, selama tiga belas tahun ini, ibu menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Semua berawal ketika bulan Februari 1995, Ibu Sundari divonis gagal ginjal
“Ibu batuk-batuk, mual. Saya pikir sakit biasa. Waktu dibawa ke rumah sakit, kadar ureumnya di atas 300, padahal orang normal harus di bawah 40. Artinya racun dalam darah sudah menumpuk. Jadi harus langsung cuci darah. Saat itu, kadar hemoglobin (Hb) Ibu hanya 3,4 sehingga harus transfusi darah, padahal ketika itu bulan puasa, persediaan darah di PMI sangat terbatas sehingga harus mencari donor darahnya, ketika itu saya sangat bersyukur beberapa teman ibu dan seorang suster bersedia mendonorkan darahnya” terang Dhana yang ketika itu masih duduk di tingkat dua sebuah sekolah tinggi di Jakarta.
Sesungguhnya rasa duka kehilangan almarhum ayah dua tahun sebelumnya masih membekas di hati Dhana. Baginya, kepergian ayah menghadap Sang Maha Kuasa bagaikan kiamat kecil. “Saya tidak menyangka. Bapak masih gagah, karir sedang posisi menanjak, dan saya baru masuk kuliah,” kenangnya.

Masih segar dalam ingatannya, hari ketika ayahnya wafat. Dhana tengah sibuk mencari kaos kaki warna-warni di jatinegara sebagai salah satu syarat mengikuti ospek di kampusnya. “Waktu pulang saya lihat orang ramai, ternyata Bapak meninggal. Sangat mendadak. Saya tidak siap, tapi harus siap. Sebenarnya juga tidak tabah. Apalagi dua tahun kemudian Ibu menderita sakit berat. Kalau bicara mental jatuh, ini jatuh yang kedua. Kok belum selesai musibah yang saya alami dua tahun belakangan ini,” tuturnya.
Kepergian ayah menjadikan sulung dari dua bersaudara yang baru saja lepas SMA itu berubah menjadi kepala keluarga. Tak heran jika dialah yang pertama diberitahu dokter tentang keharusan ibunya untuk cuci darah. Sebuah kabar yang tentu tidak mudah didengar. “Awalnya Ibu tidak tahu. Ibu pikir hanya sekali cuci darah, setelah itu sembuh. Dokter panggil saya, katanya ini harus rutin cuci darah. Saya kepala keluarga dan memang harus menanggung semuanya,” kenangnya.
Dhana sendiri, meski sangat sedih mendengar kondisi kesehatan ibunya, namun saat itu ia merasa optimis, penyakit Ibu akan sembuh dan keadaan akan membaik kembali. “Shock, tapi tidak berpikir bahwa ini tidak bisa sembuh. Saat itu saya tidak menyadari. Dokter juga tidak bilang secara gamblang kalau tidak bisa sembuh. Tahun pertama belum merasa bahwa ini akan menjadi rutinitas. Saya anggap nanti akan ada akhir untuk sembuh,” ujarnya.
Keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya menyemangati Dhana dan ibunya untuk tak henti-hentinya mencari penyembuhan, baik medis maupun obat alternatif. Sejak 1995 hingga 2004, boleh dibilang semua pengobatan alternatif yang pernah dilihat di televisi pernah dicoba, namun hingga sekarang, ibunda Dhana tetap harus cuci darah.
Di awal mendengar vonis gagal ginjal, Ibu Sundari sempat mengalami masa-masa penolakan dan kesedihan. Penanganan cepat serta perawatan medis yang sangat memadai memang mampu mengembalikan kondisi fisiknya, kecuali ginjal. Namun keharusan cuci darah sangat menguras ketabahannya. Alhasil, di tahun pertama sejak ibunya sakit, Dhana lebih banyak mengerahkan segenap daya dan usaha untuk membantu mengangkat moril Sang Ibu.
“Secara fisik ibu agak bagus, tapi mentalnya down sekali. Setiap habis cuci darah, pulang, balik lagi ke rumah sakit. Lebih karena psikis. Kadang ada rasa tidak enak di badan, sampai di rumah sakit diperiksa dokter tidak ada apa-apa. Obatnya cuma istirahat. Ibu juga sering bertanya, kapan tidak cuci darah lagi,” tuturnya.

Selain stress karena sudah berusaha berbagai cara tapi tidak juga sembuh, proses cuci darah juga mengandung bagian yang cukup sakit dan menakutkan. “Ada saatnya Ibu merasa, ngapain hidup berganatung mesin terus. Kalau besok mau dicuci sudah stress, memikirkan akan ditusuk jarum. Sampai sekarang pun Ibu masih selalu kesakitan waktu ditusuk. Saya sangat sedih melihatnya. Melihat orang yang saya cintai ,menderita, itu menjadi penderitaan juga bagi saya. Tapi saya berusaha bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan Ibu, ucapnya”

Sadar kondisi ibunya sangat labil, Dhana memutuskan konsentrasi sepenuhnya untuk menemani Ibu menjalani berbagai proses pengobatan. Tiap hari, sepulang kuliah, Dhana langsung ke rumah sakit. Menghabiskan malam di lantai di bawah tempat tidur ibunya menjadi bagian pola kehidupan Dhana. Menurutnya, posisi di bawah tempat tidur membuatnya cepat mengetahui kalau ada apa-apa. Pagi-pagi biasanya ia pulang sebentar sekadar berganti baju dan membersihkan badan, lalu kuliah. “Saya punya kos, tapi tidak pernah saya tinggali karena kondisi ibu sangat tidak stabil. Selama kuliah tidak sempat bersosialisasi dengan teman-teman karena waktunya tidak memungkinkan. Saya lebih banyak ke Ibu. Saya hanya meninggalkan Ibu ketika kuliah,” tuturnya.
Pilihan untuk mendahulukan Ibu di atas semua urusan lainnya, secara logika, sebenarnya tidak selalu mudah bagi Dhana, yang kebetulan kuliah di sekolah yang lumayan ketat dalam kedisiplinan. Ketika kondisi ibunya sedang sangat menurun, Dhana memilih tidak kuliah agar bisa menemani ibunya. Keputusan itu, bukan hanya melewatkan kesempatan mendengar materi kuliah langsung dari dosen, tapi juga membuatnya kesulitan mencapai batas absen yang diijinkan.

“Kuliah tidak masuk, saya tidak peduli. Saya lebih baik drop out daripada harus meninggalkan ibu saya. Itu yang saya yakini. Boleh dibilang saya tidak pernah belajar meski saat ujian. Bukan karena sombong, tapi memang tidak sempat. Saya sadar risikonya dan juga siap menanggungnya. Tidak pernah ada konflik batin ketika memutuskan itu. Prioritas saya untuk Ibu. Saya tidak pernah sedikitpun khawatir, bagaimana masa depan saya, bagaimana kalau tidak lulus atau drop out. Terserah deh, hidup saya mau dibawa kemana. Saya ikut saja. Saya hanya berpikir bagaimana Ibu bisa nyaman, bisa tertolong dari kondisi ini,” jelasnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar