Selasa, 08 Mei 2012

Ketika Mas Gagah Pergi(3)

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak,"Hei,
itu kan Mas Gagah-ku !"

            Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz
tenar yang biasa kudengar!

            Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.


            "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri," kata Mas
Gagah.

            Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini. --=oOo=-

            Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali
mengucap hamdalah.

            Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian
mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.

            Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan
anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.

            "Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!" kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.

            "Mas Gagah belum pulang," kata Mama. "Yaaaaa, kemana sih, Ma??!" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus..."

            "Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid."

            "Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini," hibur mama menepis gelisahku.

            Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah. "Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !" Mama tertawa.

            Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama. --=oOo=-

Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..." hibur Mama lagi.

            Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma?" duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!"


            Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!" Telpon berdering.

            Papa mengangkat telepon. "Halo, ya betul. Apa? Gagah???" "Ada apa , Pa?" tanya Mama cemas.

            "Gagah..., kecelakaan..., Rumah Sakit… Islam...," suara Papa lemah. "Mas Gagaaaaaahhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.

            Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

--=oOo=-

            Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah.
Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.

Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.

            "Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!" kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku, "Sabar, Sayang..., sabar."

            Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

            "Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?" air mataku terus mengalir.

            Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!

            "Mas Gagah, sembuh ya, Mas..., Mas...Gagah..., Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas...Gagah...," bisikku.

            Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah..., Gita, Mama dan Papa butuh
Mas Gagah..., umat juga."

            Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak, dan Gi..."

"Gita.." suaraku serak menahan tangis.

            "Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya..., lukanya terlalu parah," perkataan terakhir dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!

"Mas..., ini Gita, Mas...," sapaku berbisik.


Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.

            Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai.. jilbab," lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

            "Dzikir..., Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang...

"Gi...ta..."

            Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali! "Gita di sini, Mas..."

Perlahan kelopak matamya terbuka.

Aku tersenyum. "Gita... udah pakai... jilbab...," kutahan isakku.

            Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.

            "Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas...," ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai
            ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah..., sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!

            Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.

            Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa
membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

            Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak..., Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah
pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

            "Laa...ilaaha...illa...llah..., Muham...mad...Ra...sul...Al...lah...," suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.

Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.

            Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.

Selamat jalan, Mas Gagah !


Epilog

            Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati

                Agar Allah selalu besertamu. Sun Sayang,

Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.

            Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

            Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar
yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini...

Setitik air mataku jatuh lagi.

            "Mas, Gita akhwat bukan sih?" "Ya, Insya Allah akhwat!"
"Yang bener?’

"Iya, dik manis!"

            "Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!" "Kok nanya gitu?"

            "Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!’ "Ganteng kan?"

            "Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?" "Ya always dong ! Jihad itu... "

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan, Mas Ikhwan ! Selamat jalan, Mas Gagah !

HTR, Depok, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar