Dengan
penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam
acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi
salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini
rasa-rasanya ingin berteriak,"Hei,
itu kan
Mas Gagah-ku !"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya
penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar
biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan
ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan
tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang
disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang
atau ustadz
tenar
yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah
berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.
"Betapa Islam yang jelas-jelas
mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena
mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah,
diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri," kata
Mas
Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya
kucatat di hati ini. --=oOo=-
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini
sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang
rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali
mengucap
hamdalah.
Aku mau ngasih kejutan buat Mas
Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan
datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian
mengajaknya
jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut
gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada
acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan
anak-anak
panti yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah!
Maaasss! Assalaamu’alaikum!" kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang,"
kata Mama. "Yaaaaa, kemana sih, Ma??!" keluhku.
"Kan
diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus..."
"Jangan-jangan nginep, Ma.
Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid."
"Insya Allah nggak. Kan Mas
Gagah inget ada janji sama Gita hari ini," hibur mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak
gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah. "Eh, jilbab Gita
mencong-mencong tuh !" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang
kupakai. Tersenyum pada Mama. --=oOo=-
Sudah
lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin
dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi
menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap
barangkali, Ma?" duga Papa.
Mama
menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!"
Aku menghela napas panjang. Menguap.
Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera
pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg
!!" Telpon berdering.
Papa mengangkat telepon. "Halo,
ya betul. Apa? Gagah???" "Ada apa , Pa?" tanya Mama cemas.
"Gagah..., kecelakaan..., Rumah
Sakit… Islam...," suara Papa lemah. "Mas Gagaaaaaahhh!!!" Air
mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan
menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
--=oOo=-
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh
Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang
kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah.
Dua
teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.
Dokter
melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.
"Tapi saya Gita, adiknya, Dok!
Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!" kataku emosi pada
dokter dan suster di depanku.
Mama
dengan lebih tenang merangkulku, "Sabar, Sayang..., sabar."
Di pojok ruangan papa tampak serius
berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup
terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa
ceramah pada syukuran Gita kan?" air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku
kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh
yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas...,
Mas...Gagah..., Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas...Gagah...,"
bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada
di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang
bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku
berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah..., Gita, Mama dan Papa
butuh
Mas
Gagah..., umat juga."
Tak lama dokter Joko yang menangani
Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak,
dan Gi..."
"Gita.."
suaraku serak menahan tangis.
"Pergunakan waktu yang ada
untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan.
Maafkan saya..., lukanya terlalu parah," perkataan terakhir dokter Joko
mengguncang
perasaan, menghempaskan harapanku!
"Mas...,
ini Gita, Mas...," sapaku berbisik.
Tubuh
Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya.
"Gita sudah pakai.. jilbab," lirihku. Ujung jilbabku yang basah
kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh
Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir..., Mas,’ suaraku
bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup
perban. Wajah itu begitu tenang...
"Gi...ta..."
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah,
pelan sekali! "Gita di sini, Mas..."
Perlahan
kelopak matamya terbuka.
Aku
tersenyum. "Gita... udah pakai... jilbab...," kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah
tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu,
Mas...," ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan
sesuatu.
Mama dan
Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai
ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya
Allah..., sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah
lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah
semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga
masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa
membalasnya
dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi airmata yang
jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak..., Mas," kataku sambil
menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas
Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas
Gagah, aku pasrah
pada
ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa...ilaaha...illa...llah...,
Muham...mad...Ra...sul...Al...lah...," suara Mas Gagah pelan, namun tak
terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas
Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi
wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku
dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami
rela dia pergi.
Selamat
jalan, Mas Gagah !
Epilog
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar
Allah selalu besertamu. Sun Sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !
Kubaca
berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Gamis dan jilbab hijau muda, manis
sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang
tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini
lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu
diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam
Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding
kamar
yang
menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini...
Setitik
air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan
sih?" "Ya, Insya Allah akhwat!"
"Yang
bener?’
"Iya,
dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada
jenggotnya, ya?!" "Kok nanya gitu?"
"Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!’
"Ganteng kan?"
"Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad,
ya? Jihad itu apa sih?" "Ya always dong ! Jihad itu... "
Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai. Kumatikan
lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan, Mas Ikhwan ! Selamat
jalan, Mas Gagah !
HTR, Depok, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar