Selasa, 08 Mei 2012

Ketika Mas Gagah Pergi(1)

ceritanya copas namun semoga bisa dapet manfaat !!!!!

Mas gagah berubah!

            Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah !

            Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja... ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu
membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

            Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.
Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.

            Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan
makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.

            Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?"

            "Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?"

            Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesammesem. Bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?

            "Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran..., banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He...he...he.." kata Mas Gagah pura-pura serius.

            Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !

Itulah Mas Gagah!

            Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang
kubanggakan kini entah kemana...

--=oOo=-

            "Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.


            Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa
membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamuálaikuuum!" seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

            "Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita ? Kok teriak-teriak seperti itu ?" tanyanya.

"Matiin kasetnya !" kataku sewot.
            "Lho emang kenapa ?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab... ,
            masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

            "Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !" "Bodo !"

            "Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas
pasang di ruang tamu, Gita ngambek..., mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru..., eh tiba-tiba
            terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan..."
            "Pokoknya kedengaran!"

            "Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !"

            "Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

            Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya ?

            "Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau
denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !" begitu kata Mas Gagah.

Oalaa !

--=oOo=-

            Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan
itu. Walau bingung untuk mencernanya.

            Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau


            baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,"Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut
ditrondolin gitu !"

            Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita !
Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!

            Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya. "Penampilanmu kok sekarang lain, Gah ?’

"Lain gimana, Ma ?"

            "Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu..."

            Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

            Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino," komentarku
menyamakannya dengan sopir kami. "Untung saja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.

            Mas Gagah lebih pendiam ? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan.
Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan.

            Dan...yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?

            "Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak
menghargai orang !"

            "Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. "Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih
benar!"

            Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu..., sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya ?

Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. "Baca!"

            Kubaca keras-keras. "Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!"

Si Mas tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali...," kataku.


            "Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?" kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengeti ya, Dik Manis !?"

            Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun..., akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya..., yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja.
Kutarik napas dalam-dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar