Selasa, 08 Mei 2012

Ketika Mas Gagah Pergi(2)

"Mau kemana, Git!?"

            "Nonton sama teman-teman." Kataku sambil mengenakan sepatu. "Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!’

"Ikut Mas aja, yuk!"

"Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!"

            Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju
panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalaamu’alaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.

            Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak
ngelirik aku..., persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?" tanyaku iseng.

            Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!

Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt !"

            Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab..., yaaa begitu deh!!

--=oOo=-

            "Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!" seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan
baju-baju you can see-nya.

            "Ikhwan?" ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk
            menyapa saudara seiman kita," ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu


            Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

            "Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang eror. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar.
Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham."

            Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.

            "Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita..., meski kita kini punya pandangan yang berbeda," ujar Tika tiba-tiba.

            "Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah...," kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih..."

            Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. "Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian
            kukenalkan pada Mbak Ana."

"Mbak Ana ?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah
            hidayah!"

"Hidayah ?"

            "Nginap, ya ! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!" --=oOo=-

"Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan..., eh Mas Gagah !" tegurku ramah.

"Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" kata Mas
            Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

            "Dari rumah Tika, teman sekolah," jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?" tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak
koleksi buku ke-Islaman..

            "Cuman lagi baca !" "Buku apa ?"

"Tumben kamu pengin tahu?"

"Tunjukin dong, Mas...buku apa sih?" desakku.

"Eit..., Eiiit !" Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.

            Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. "Nih!" serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.


            "Nah yaaaa!" aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam’ itu.

"Maaaas..."

"Apa Dik manis ?"

"Gita akhwat bukan sih ?"
            "Memangnya kenapa ?"

"Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab...," tanyaku manja.

            Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas
Gagahku yang dulu.

            Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!

"Mas kok nangis?"

            "Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi
lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit..."

            Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli...

            "Kok...tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" tanya Mas Gagah tiba-tiba. "Gita capek marahan sama Mas Gagah !" Ujarku sekenanya.
"Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

            "Tenang aja, Gita nyambung kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam.

            Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!

--=oOo=-

            Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu.

            Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila
sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.

            "Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.


Biasanya papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

            Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga
wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!

Aku nyengir kuda.

            Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.

"Nyoba pakai jilbab, Git !" pinta Mas Gagah suatu ketika.
            "Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!"

            Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama".

            Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau, tapi nggak sekarang...," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg
            aktifitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.

            Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!

"Ini hidayah, Gita!" kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah
            hidayah!"

            "Lho?" Mas Gagah bengong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar