"Mau
kemana, Git!?"
"Nonton sama teman-teman."
Kataku sambil mengenakan sepatu. "Habis Mas Gagah kalau diajak nonton
sekarang kebanyakan nolaknya!’
"Ikut
Mas aja, yuk!"
"Kemana?
Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa
waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus
pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin,
berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu.
Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel
kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya
Mas Gagah menyuruhku memakai baju
panjang
dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau
ikut.
"Assalaamu’alaikum!"
terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak
lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan
teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak
ngelirik
aku..., persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat
aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?" tanyaku iseng.
Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah
yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka
padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!
Mas
Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt !"
Seperti biasa, aku bisa menebak
kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca
Al-Quran atau bahasa Arab..., yaaa begitu deh!!
--=oOo=-
"Subhanallah, berarti kakak
kamu ikhwan dong!" seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman
akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans
dan
baju-baju
you can see-nya.
"Ikhwan?" ulangku.
"Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" suaraku yang
keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Huss!
Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai
untuk
menyapa saudara seiman kita,"
ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu
Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis
kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini." Aku manggut-manggut.
Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh, Git. Nggak usah
bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh
tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah
orang-orang yang eror. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan
benar.
Kitanya
saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham."
Aku diam. Kulihat kesungguhan di
wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di
mataku menjelma begitu dewasa.
"Eh, kapan main ke rumahku?
Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita..., meski kita kini
punya pandangan yang berbeda," ujar Tika tiba-tiba.
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku
juga kehilangan Mas Gagah...," kataku jujur. "Selama ini aku
pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih..."
Tika menepuk pundakku. Jilbab
putihnya bergerak ditiup angin. "Aku senang kamu mau membicarakan hal ini
denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian
kukenalkan pada Mbak Ana."
"Mbak
Ana ?"
"Sepupuku
yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah
hidayah!"
"Hidayah
?"
"Nginap, ya ! Kita ngobrol sampai
malam sama Mbak Ana!" --=oOo=-
"Assalaamu’alaikum,
Mas Ikhwan..., eh Mas Gagah !" tegurku ramah.
"Eh
adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!"
kata Mas
Gagah pura-pura marah, usai menjawab
salamku.
"Dari rumah Tika, teman
sekolah," jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?" tanyaku sambil
mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang
Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di
dinding kamar. Lalu dua rak
koleksi
buku ke-Islaman..
"Cuman lagi baca !"
"Buku apa ?"
"Tumben
kamu pengin tahu?"
"Tunjukin
dong, Mas...buku apa sih?" desakku.
"Eit...,
Eiiit !" Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan
menyerah. "Nih!" serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya
dengan wajah setengah memerah.
"Nah yaaaa!" aku tertawa.
Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata
Cara Meminang dalam Islam’ itu.
"Maaaas..."
"Apa
Dik manis ?"
"Gita
akhwat bukan sih ?"
"Memangnya kenapa ?"
"Gita
akhwat apa bukan ? Ayo jawab...," tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan
sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah.
Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum
Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang
hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa
kembali menemukan Mas
Gagahku
yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus
berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang
tak pernah kulihat sebelumnya!!
"Mas
kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul
dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak
meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas
bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di
Belahan bumi
lainnya
sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap
langit..."
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang
gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli...
"Kok...tumben Gita mau dengerin
Mas ngomong?" tanya Mas Gagah tiba-tiba. "Gita capek marahan sama Mas
Gagah !" Ujarku sekenanya.
"Emangnya
Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja, Gita nyambung
kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku
ngerti deh meski nggak mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani
tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!
--=oOo=-
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah
mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan berbeda dengan
yang dahulu.
Kini tiap Minggu kami ke Sunda
Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat
tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila
sedikit
kupaksa Mama Papa juga ikut.
"Masa sekali aja nggak bisa, Pa…,
tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?"
tegurku.
Biasanya
papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke
acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak
bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan
perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di
sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam
perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara
pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan
kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga
wanti-wanti
agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku
nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang
pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok
panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba
pakai jilbab, Git !" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah
nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!"
Mas Gagah tersenyum. "Gita
lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama".
Memang sudah beberapa hari ini mama
berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku
tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.
"Gita
mau, tapi nggak sekarang...," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan
seabreg
aktifitasku kini, prospek masa depan
(ceila) dan semacamnya.
"Itu
bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran,
Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!
"Ini
hidayah, Gita!" kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau
senyum-senyum.
"Hidayah?
Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah
hidayah!"
"Lho?" Mas
Gagah bengong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar