Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Ada do’a sederhana yang ringan diucapkan, tetapi berat terasa ketika merenunginya. Inilah do’a memohon kepada Allah Ta’ala karunia istri (pun suami) dan keturunan yang menjadi penyejuk mata di dunia dan akhirat. Cerita tentang anak beserta keturunan berikutnya yang menyejukkan mata hati senantiasa membangkitkan kerinduan terhadapnya, bahkan bagi yang sudah memiliki banyak anak. Sesungguhnya sejuknya hati memandang anak keturunan, bertingkat-tingkat keadaannya. Karenanya, kita senantiasa berharap agar anak keturunan kita semakin baik, semakin baik lagi dan semakin menyejukkan mata hati kita. Tetapi sebelum anak-anak beserta keturunan kita berikutnya, ada yang terlebih dulu kita harap menyejukkan mata hati ini, yakni istri (suami) kita. Inilah yang merisaukan, terutama ketika bertanya pada diri sendiri, adakah diri ini menyejukkan mata baginya?
Marilah kita renungi sejenak tatkala Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Inilah satu di antara do’a-do’a terbaik yang Allah Ta’ala sukai; do’a terbaik yang kita pun sangat patut memohonkannya kepada Allah Ta’ala dan merindui dikabulkannya bagi kita. Inilah do’a yang kita pun seharusnya mencita-citakan terwujud di dalam keluarga kita; anak-anak yang menjadi imam, yakni manusia utama, manusia pilihan yang sangat baik dan penuh manfaat bagi manusia lainnya.
Apa yang diperlukan agar di antara mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa? Berat kumenuturkan disebabkan masih buruknya diriku, tetapi inilah yang kupahami sehingga tidak ada pilihan selain menyampaikan sesuai yang kuilmui. Berat disebabkan masih jauh dari keshalihan, sementara jalan untuk menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa itu adalah mengantarkan mereka menjadi penyejuk mata (qurrata a’yun). Siapakah qurrata a’yun itu? Mereka yang padanya melekat ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan bersamanya terpancar akhlak yang mulia. Ingat bahwa imam itu terkait dengan keutamaan seseorang, lebih dekat maknanya dengan ra’i yang berarti penggembala. Seorang penggembala mengenali yang digembalakannya, mengurusi dan membesarkannya.
Jadi, yang paling menonjol dari sosok yang qurrata a’yun adalah ketaatannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian darinya terpancar akhlak mulia, mengayomi dan memperhatikan orang lain. Dan inilah yang perlu kita tanamkan kepada anak-anak kita. Sejuknya pandangan mata itu bukan terutama ketika anak-anak kita kecil, masa ketika mereka masih tampak lucu menggemaskan, melainkan justru yang paling pokok adalah saat kita sudah tua hingga terkhusus lagi ketika kita sudah tiada; ketika kita semua sudah berada di kampung akhirat.
Ketika menafsirkan frasa وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا (sedangkan ayahnya adalah seorang yang shalih) di dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 82, Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan keshalihan seseorang akan membawa dampak bagi terjaganya anak keturunannya. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah tersebut menunjukkan bahwa dampak kebaikannya bukan pada anak saja, melainkan hingga keturunan berikutnya. Bahkan Ibnu Katsir menunjukkan sebagaimana dituturkan oleh Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa yang dimaksud dengan ayah pada frasa وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا (sedangkan ayahnya adalah seorang yang shalih) adalah kakek ketujuh dari kedua anak pada ayat tersebut. Dari sini kita dapat memahami, adakalanya seseorang yang biasa-biasa saja memiliki keturunan yang sangat baik agama disebabkan oleh baiknya kakek-kakek mereka hingga beberapa tingkat di atasnya. Karena itulah, amat patut kita berdo’a kepada Allah Ta’ala, memohon dengan permohonan yang Allah ‘Azza wa Jalla sukai tersebut seraya berusaha agar menjadi sarana kebaikan bagi istri kita atau suami kita.
Memahami ini semua, merinding rasanya saya karena melihat masih sangat buruknya diri ini. Banyak hal yang saya tidak menuliskannya, bukan karena menyembunyikan ilmu, tetapi karena masih sangat berat saya menyampaikan. Tulisan sederhana ini pun harus tertunda berkali-kali dan perlu waktu lama untuk merampungkannya.
Inilah jalan membaguskan keturunan --bukan hanya pada tingkat anak-- yang tidak memerlukan bekal seminar parenting alias tarbiyatul aulad. Inilah cara memuliakan keturunan, meskipun kita tampaknya awam ilmu pengasuhan.
Ada do’a lain yang juga meminta dibaguskannya keturunan, diperbaiki dari keadaan mereka agar semakin baik jika mereka baik, dan diluruskan jika mereka bengkok. Kita memohon sepenuh pinta sekaligus membenahi diri kita.
Mari kita renungi sejenak do’a yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahqaaf ayat 15:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Tuhanku, berikanlah aku petunjuk untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai (وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ); berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Do’a dari QS. Al-Ahqaf, 46: 15).
Ada do’a dan ada pelajaran berharga di dalamnya sebelum kita memohon kepada Allah Ta’ala agar membaguskan keturunan kita. Pertama, kita sangat menghajatkan petunjuk dengan memohon sepenuh harapan, beriring dengan upaya mengilmui, agar dapat mensyukuri nikmat-nikmat Allah Ta’ala. Kita perlu untuk dapat mensyukuri, perlu pula petunjuk agar dapat bersyukur dengan benar sesuai tuntunan. Semoga dengan itu, rasa syukur kita menjadikan Allah Ta’ala berkenan menambah dan menambahkan lagi nikmat-Nya serta barakah atas nikmat tersebut. Kedua, kita berusaha bersyukur atas segala nikmat yang dapat kita rasakan maupun yang tidak sanggup kita rasakan. Sesungguhnya memiliki ilmu agama dengan lurus merupakan rezeki, mengenali kebenaran merupakan rezeki, mampu menjauhi keburukan juga rezeki. Ringkasnya segala yang mendekatkan kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan adalah rezeki. Kita perlu mensyukuri semua itu, baik atas nikmat yang dikaruniakan kepada kita maupun nikmat yang Allah Ta’ala limpahkan bagi kedua orangtua kita. Ketiga, memperbaiki hubungan kita dengan kedua orangtua, membaguskan bakti kita kepada mereka, membahagiakan mereka dan berusaha agar mereka ridha kepada kita. Jika orangtua sudah tiada, kita mendo’akan dan melakukan amal shalih atas nama mereka. Sesungguhnya, hal terpenting dari rangkaian do’a ini adalah memohonkan kebaikan bagi orangtua dan memperbaiki bakti kita kepada keduanya.
Selanjutnya, pinta kita yang keempat adalah memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar Ia mampukan kita mengerjakan amal shalih yang Allah Ta’ala ridhai (وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ). Ini sekaligus mengisyaratkan kepada kita betapa pentingnya ilmu agar dapat beramal shalih yang benar-benar Allah Ta’ala ridhai. Dan merupakan jalan yang perlu kita upayakan bagi baiknya keturunan sepeninggal kita. Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengharap dengan sangat, memohon dengan segala kehinaan kita pinta yang kelima, yakni dibaguskannya anak keturunan kita.
Di ujung senja aku termangu, menatap diriku sendiri. Usiaku sudah lebih dari 40. Do’a tersebut adalah do’a mereka yang telah memasuki usia 40 tahun. Aku dapati diriku belum memiliki cukup bekal untuk pulang ke kampung akhirat, belum pula memiliki bekal yang mencukupi untuk bagusnya keturunan sepeninggalku. Bahkan walaupun itu adalah pinta kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
O Allah... ampuni diriku, istriku, keluargaku dan anak keturunanku. Kasih-sayangilah kedua orangtua kami. Baguskanlah keturunan kami dan jadikan kami penolong agama-Mu.
Yogyakarta, 14-25 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar