Senin, 25 Januari 2016

Syukurku, Syukurmu, Di manakah?


وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…”
(QS. An-Nahl: 53)

Seorang ulama bernama Syuraih berujar, “Setiap kali seorang hamba ditimpa suatu musibah, pasti di sana ada tiga nikmat Allah ‘Azza wa Jalla:

1. Musibah itu tidak berkenaan dengan diin (agama)-nya.
2. Musibah itu tidak lebih berat daripada yang terjadi.
3. Musibah itu pasti akan terjadi kemudian telah terjadi.

Subhanallahu...hanya itu kata yang dapat terucap...
Alangkah tingginya pengetahuan tentang nikmat, yang dimiliki para ulama. Mereka bukan hanya mampu mengetahui, mengenali dan mengidentifikasi nikmat dalam kenikmatan, tapi bahkan mereka mampu mengidentifikasi nikmat dalam ruang musibah dan duka.

Sementara kebanyakan manusia, jangankan mengenali nikmat dalam ruang musibah, bahkan dalam semesta nikmat pun dia tak mampu mengenali nikmat-nikmat tersebut.

Semakin malu diri ini tatkala menyimak nikmat-nikmat yang dikenali oleh mereka dalam ruang-ruang musibah tersebut.

“Setiap kali seorang hamba ditimpa suatu musibah, pasti di sana ada tiga nikmat Allah ‘Azza wa Jalla:

1. Adalah nikmat yang besar bahwa musibah yang menimpa kita itu tidak mengenai diin/agama kita.

Apapun musibahnya, selama tak mengenai agama kita, maka itu bukanlah apa-apa.
Sebesar apapun musibahnya, selama tak mengenai agama kita, maka itu tak seberapa.

Sakitnya badan kita, miskinnya harta kita, sulitnya hidup kita bahkan matinya orang-orang yang kita cintai, bukanlah musibah yang besar selama bukan iman kita yang sakit, bukan infak kita yang miskin, bukan amal shaleh kita yang sulit untuk melakukannya dan bukan  agama yang hilang dan mati dari dada kita.
Sakit tapi masih semangat beribadah, miskin tapi masih peduli, sulitnya hidup tapi masih mudah tersenyum, dan kehilangan orang yang dicintai tapi masih menemukan saudara yang dijalin ukhuwwah atasnya.

Sungguh, nikmat yang paling besar adalah nikmat agama. Musibah yang menimpa bukanlah musibah selama tidak mengenai agama.
Musibah atas hilangnya nikmat yang lain masih menyisakan kenikmatan, selama tidak hilang agama dari diri manusia.
Sudahkah kita mensyukurinya?

2. Adalah sebuah kenikmatan bahwa musibah yang mengenai kita tidak lebih berat dari apa yang terjadi.
Bisa saja Allah timpakan musibah yang lebih berat, tapi ternyata itu tak terjadi. Musibah itu tidak lebih berat dari yang terjadi. Seberat apapun yang terjadi, pastinya tidak lebih berat dari yang tidak terjadi. Yang terjadi itu ringan, karena kita masih mampu dan seharusnya mampu mengatasinya. Mungkin itulah rahasia firman Allah dalam ayatnya yang agung,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ...

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(QS: Al Baqarah: 286)

Jadi, apakah yang dipusingkan? Apakah yang dikeluhkan? Apakah yang dipermasalahkan? Dan apakah yang dikhawatirkan?

Semua musibah yang menimpa tidaklah lebih berat dari apa yang terjadi. Dan itu adalah nikmat dari-Nya.
Sudahkah kita mensyukurinya?

3. Adalah kenikmatan yang luar biasa bahwa musibah itu pasti akan terjadi dan kemudian telah terjadi.

Tiada musibah yang kekal. Tiada musibah yang tiada henti. Tiada musibah yang tanpa batasan episode. Sebagaimana tiada musibah yang takkan berlalu.
Bahkan badaipun pasti berlalu.

Kepastian akan berlalunya musibah adalah nikmat yang besar dari Allah SWT. Sehingga ketakutan akan musibah itu selalu dibayangi oleh kebahagiaan akan berlalunya musibah tersebut. Alangkah indahnya rasa takut yang dibalut harapan. Sebagaimana indahnya harapan yang dipagari rasa takut.

Bukan hanya itu, nikmat berakhirnya musibah hanya akan dirasakan oleh mereka yang terkena musibah. Takkan pernah manusia mengetahui betapa nikmatnya saat musibah berlalu, kecuali mereka yang merasakan musibah tersebut.

Mungkin itulah makna tersembunyi dari perkataan nabi, bahwa nikmat sehat baru terasa setelah sakit, nikmat kaya baru terasa setelah miskin dan nikmat waktu lapang baru terasa setelah sempit.

Pun begitu sebaliknya. Nikmatnya sehat akan semakin kuat dirasa setelah sakit itu berlalu. Nikmatnya kaya akan makin tajam rasanya setelah kemiskinan itu dilewati. Nikmatnya waktu lapang akan semakin luas rasanya ketika waktu sempit itu sudah dilalui.

Jadi, ada titik henti dalam setiap musibah. Sepanjang apapun musibah itu, setidaknya kematian menjadi penghentinya. Karena setelah kematian itu, nikmat oleh sebab musibah tersebutlah baru akan terasa; diampuninya dosa dan diberikannya rahmat dari Tuhannya. Sudahkah kita mensyukurinya?

Cukuplah ayat-Nya yang mulia menjadi penjelas.

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
(QS: Al Kautsar: 1)

Lalu, apalagi yang menahan syukurmu pada-Nya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar