Senin, 04 Januari 2016

Berpelangi Dalam Cinta

Bukankah sesuatu yang ikhtilaf, apalagi jika bertolak belakang, meniscayakan yang satu benar sedangkan yang lain keliru? Dalam soal pokok-pokok agama dan dasar-dasar ‘aqidah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikianlah adanya. Tetapi dalam perkara furu’iyah fiqhiyah, para ‘ulama memiliki penjelasan. Berikut ini sebuah contoh yang sering dikutip.

Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada rombongan pasukan yang akan berangkat ke Benteng Bani Quraizhah setelah perang Ahzab, “Jangan kalian shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah!” Kemudian sariyah inipun bergerak menuju perkampungan Yahudi di bagian atas Kota Madinah itu.
Ternyata, sebelum barisan ini sampai ke Bani Quraizhah, waktu ‘Ashr telah hampir habis. Maka merekapun terbelah dalam silang pendapat. Sebagian sahabat memutuskan berhenti untuk shalat ‘Ashr. Sebagian yang lain jalan terus.

Yang berhenti beranggapan bahwa sabda Nabi, “Jangan shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah” mengandung makna kiasan bahwa mereka harus segera berangkat dan bergegas dalam berjalan agar cepat sampai ke tujuan. Makna itu tak menghapus ketentuan bahwa shalat ‘Ashr harus ditunaikan pada waktunya.

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS An Nisaa’ [4]: 103)

Bagi para sahabat yang berhenti, adalah tidak mungkin melanggar batas waktu ‘Ashr dengan menunaikannya nanti. Mereka telah memperhitungkan, secepat apapun mereka gesakan, Benteng Bani Quraizhah baru akan mereka capai jauh setelah mentari terbenam. Andai menjama’ shalat ‘Ashr dengan Maghrib ada dalilnya, tentu mereka akan maju terus. Tapi tidak. Mereka memutuskan harus shalat sekarang.

Adapun para sahabat yang terus berjalan berpendapat bahwa sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu mutlak sebagai perintah seorang panglima. Mereka tidak boleh shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah. Dalam perintah tersebut, yang ditentukan dan ditetapkan oleh Sang Nabi adalah tempatnya, bukan waktunya. Bagi mereka, menyelisihi perintah Rasulullah adalah kedurhakaan dan pelanggaran berat. Maka merekapun jalan terus meski belum shalat ‘Ashr dan waktunya sudah habis.
Mari perhatikan bahwa bagi mereka yang berhenti, anggota pasukan yang berjalan terus itu berdosa karena tidak shalat ‘Ashr pada waktunya. Pun sebaliknya, bagi yang melanjutkan perjalanan,  para prajurit yang berhenti itu berdosa karena menyelisihi perintah Rasulullah dengan shalat tidak di tempat yang telah beliau tentukan. Betapa rumit kedua fahaman.

Tapi apa yang terjadi ketika seusai tuntasnya tugas mereka menghadap Rasulullah dan saling melaporkan? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak menyalahkan siapapun. Sama sekali.
Beginilah Fiqh, ia bermakna pemahaman. Maka kadang pemahaman memang tak bisa seutuhnya satu dan tak dapat sepenuhnya sama. Dalam kisah, kedua kelompok sama-sama tidak disalahkan oleh Baginda Nabi. Maka para Imam Fuqaha’  yang agung mengajari, bahwa Ikhtilaf tak selalu berarti yang satu benar dan yang satu keliru secara mutlak.

Pada dua pendapat yang semacam ini, hatta meski kita hanya meyakini salah satunya, haruslah ia diletakkan sebagaimana ujaran indah Imam Asy Syafi’i. “Pendapatku benar”, kata beliau, “Tapi berkemungkinan mengandung kekeliruan. Adapun pendapat orang selainku itu keliru, tapi berkemungkinan mengandung kebenaran.”

Pun, ketika membahasnya dengan mereka yang berbeda, perbantahan harus didasarkan juga pada semangat menemukan kebenaran sebagaimana yang dimiliki Imam Asy Syafi’i. “Sungguh demi Allah”, papar beliau, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang, melainkan aku sangat berharap agar Allah menampakkan kebenaran padaku melalui lisannya.”
Di saat lain beliau menyampaikan, “Kuburu akhlaq dan ilmu dari setiap orang yang dengannya aku bertemu, bagaikan seorang ibu mencari anaknya semawata wayang yang telah hilang.” Semoga Allah merahmatinya, salah satu lelaki yang dengan gemilang telah menunjukkan pada kita betapa beriris-iris perbedaan pendapat para ‘ulama adalah lapis-lapis keberkahan bagi ummat ini.

***

“Kita lebih berhajat pada sedikit adab”, ujar Imam ‘Abdullah ibn Al Mubarak, “Daripada berbanyak pengetahuan.” Demikianlah di kala lain beliau menyatakan bahwa dirinya memerlukan waktu 30 tahun untuk belajar adab, ditambah 20 tahun untuk belajar ilmu. “Adapun ilmu yang kuhimpun dari seluruh penjuru raya selama dua dasawarsa”, simpulnya, “Sama sekali tak bernilai tanpa Adab yang kulatihkan sebelumnya.”

“Maka pada guru yang sebenar berilmu”, begitu ditulis Ibn ‘Athaillah, “Kan kau reguk adab yang tak disediakan oleh buku-buku.” Demikianlah dikisahkan Harun ibn ‘Abdillah tentang majelis Imam Ahmad yang dihadiri lima ribu orang. “Yang membawa kertas dan pena untuk mencatat hadits hanya lima ratus dari mereka”, kisahnya, “Yang lain memperhatikan seluruh diri dan gerak-gerik Imam Ahmad untuk meneladani adab dan menyimak akhlaq.”

Yang mempelangikan perbedaan pemahaman menjadi lapis-lapis keberkahan adalah adab.
Adalah Imam Ahmad ibn Hanbal dalam suatu pendapat menyatakan bahwa orang yang keluar darah mengalir, maka wudhu’nya dihukumi batal. Lalu ada yang bertanya pada beliau Rahimahullah, “Apakah engkau mau bermakmum di belakang Imam yang mimisan, yakni keluar darah dari hidungnya saat shalat?”

Maka beliau menjawab dengan tegas. “Subhanallah”, serunya, “Bagaimana mungkin aku tidak mau shalat di belakang Imam Malik, Sufyan Ats Tsaury, dan Imam Al Auza’i?
Imam Ahmad menyebutkan nama-nama para ‘Alim  mulia itu, yang mana mereka berpendapat bahwa keluar darah tidaklah membatalkan shalatnya. Inilah adab. Inilah tata krama seorang ‘Alim yang Rabbani terhadap sesama ‘Ulama. Perbedaan pendapat tak menghalangi mereka untuk berrebut memuliakan dengan Adab.

Dua orang faqih dari kalangan sahabat, ‘Abdullah ibn ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit, RadhiyaLlahu ‘Anhuma, juga berbeda pendapat dalam banyak masalah. Salah satunya soal faraidh atau penghitungan waris.
Menurut Ibn ‘Abbas, bagian kakek sama dengan ayah kala dia tiada, dan adanya kakek menghijab hak saudara. Tidak demikian menurut Zaid. Bagi penulis wahyu kebanggaan orang-orang Anshar ini, kakek berkedudukan sama dengan saudara.
“Ana sa-ubahiluh”, geram Ibn ‘Abbas suatu ketika,”Aku akan bermubahalah dengan Zaid! Bagaimana mungkin dia bedakan bagian kakek dengan ayah tapi tetap samakan bagian anak dengan cucu?”

Tapi ketika ada kerabat Ibn ‘Abbas mengalami persoalan waris yang harus diselesaikan dengan memilih pnedapatnya atau pendapat si faqih Anshar; beliau justru mengundang Zaid ibn Tsabit, untuk dimintai fatwa dalam menyelesaikannya.
Zaid pun datang dan setelah mendengar penuturan dari keluarga tentang susunan para Ahli waris, beliau memutuskannya menurut pendapat Ibn ‘Abbas, bukan pendapatnya. Ketika Zaid pamit pulang, Ibn ‘Abbas  pun menuntun keledai sang Mufti kota Nabi sembari berjalan kaki,  bermaksud mengantar hingga ke rumahnya. Zaidpun merasa tak enak hati dan menegurnya.
“Tak usah begitu duhai putra Paman RasuluLlah” ujar Zaid, “Tak perlu engkau menuntun keledaiku!”
“Beginilah kami diperintahkan”, ujar Ibn ‘Abbas sambil tersenyum, “Untuk memuliakan para ‘ulama kami.”

“Kalau begitu”, tukas Zaid, “Perlihatkanlah tanganmu duhai sepupu RasuluLlah!”
Maka Ibn ‘Abbas pun menunjukkan tangannya dan segeralah Zaid mencium serta mengecupnya dengan penuh ta’zhim. Ibn ‘Abbas amat terkejut atas perlakuan ini dan menegur Zaid, “Apa ini wahai sahabat RasuluLlah? Apa ini wahai penulis Al Quran dan faqihnya kaum Anshar?”
Maka Zaid tersenyum. “Demikianlah kami diperintahkan, jelasnya, “Untuk memuliakan keluarga dan ahli bait RasuluLlah ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Moga Allah ridhai mereka semua; yang luas ilmunya, dalam fikihnya, lapang dadanya, jelita akhlaqnya. Moga kita dimampukan meneladaninya. Hari ini, kita dan mereka bagai bumi dan langit dalam ilmu. Maka di lapis-lapis keberkahan, dalam adab dan akhlaq, mari mengupayakan jadi cermin pemantul para mentari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar