Minggu, 04 Februari 2018

Menjadi tua di jakarta

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”(Menjadi Tua di Jakarta- Seno Gumira Ajidarma)

Betapa dalam sindiran satir dari tuan Seno Gumira Ajidarma di atas.
Sungguh kreatifitas kita diuji untuk bisa menikmati sepenggal kerepotan dalam melakukan perpindahan (baca: mobilisasi) antara 2 tempat: “kantor” dan sesuatu yang disebut “rumah” di kota Jakarta (dan sekitarnya).
Jangan sampai kita tervonis memiliki hidup “mengerikan” di kota Jakarta. Setidaknya menurut pujangga di atas. πŸ˜€

Terpikir kemudian adalah bagaimana caranya agar kita terhindar dari mantra satiran tuan Seno itu?
Pertama: jika Anda masih cukup muda, lakukan beberapa opsi:

1. Jangan bekerja di Jakarta. Carilah pekerjaan di kota-kota lain di Indonesia, yang relatif tidak macet, cukup 10 s.d. 30 menit sudah bisa sampai ke rumah atau sebaliknya.
Saat ini, jumlah kabupaten di Indonesia atau se-Indonesia adalah sebanyak 416 Kabupaten (Data 2015 – 2016).
Jumlah Kota di Indonesia atau se Indonesia saat ini adalah sebanyak 98 Kota (Data 2015 – 2016).
Jadi total Kabupaten dan Kota yanga ada di Indonesia saat ini adalah 514 Kabupaten dan Kota. (Sumber: http://id.ensiklopedia.dorar.info). Banyaaak kan? πŸ˜ƒ
Tidak perlu lama menetap di sana, asalkan cukup bagi anda untuk mempunyai kenangan masa muda yang indah. #aseeek.

2. Gimana donk? Lapangan pekerjaan yang terbesar ada di Jakarta dan rezeki saya memang di kota ini? Apa yang bisa saya lakukan?
Oke, tips berikutnya adalah: siasati kemacetan yang ada. (Baca: nikmati saja). Caranya bisa dengan berbagai gaya contohnya: ikut jadi roker (rombongan kereta), gabung nebengers, bike to work atau lainnya. Bisa juga mengatur waktu keberangkatan dan kepulangan. Hindari waktu sibuk 7-10 dan 16-20 ! Berangkat shubuh pulang persis lepas ashar sebelum jam 16 atau berangkat di atas jam 9 pulang di atas jam 20… 😁
Atau buatlah mekanisme bisa bekerja di mana saja. Jangan-jangan bahkan bisa mengadopsi metode: “work from home.”

3. Ciptakan percikan “nyala api” di setiap rutinitas pekerjaan. Ini adalah metode “breaking the routine“. Buatlah daftar kegiatan-kegiatan kreatif, berbeda dan unik dalam menjalankan pekerjaan. Intinya mah variasi! Tujuan sama tetapi dilakukan sengan cara dan gaya berbeda maka rasanya akan berbeda pula. 😎 Bahkan mungkin hasilnya juga jadi berbeda… Who knows?

4. “Nyalakan lentera hati!” Seperti lagunya om Nugie, maksudnya adalah temukan “passion” dalam bekerja atau sebaliknya: bangun “passion” saat bekerja. Gugahlah semangat! Temukan “reason”, “cause”, dan “purpose” yang sejati. Itu tentu agar kita tidak jadi robot mesin yang membosankan. Meski terlihat bagai zombie pergi-pulang kerja, namun jika kita punya “purpose” yang BESAR, insyaAllah kita bisa mengelola segala kesulitan dan kerepotan di atas.

5. Kutukan mantra di atas juga bisa sirna, (kendati 4 kondisi tips di atas tidak bisa dijalankan skenarionya) yaitu jika ada syarat: kondisi pensiun yang dijalani adalah “pensiun yang seberapa.” Nah ini makin berat membedahnya 😁. Tentu hal ini bicara soal input, proses dan output dari soal angka-angka. Meski juga tidak berarti soal-soal angka-angka saja, tetapi bisa juga soal “rasa.” Dan soal “rasa” itu adanya di hati. #eaaa lagi… πŸ˜‚

Yah… tidak usah terlalu dipikir serius. Tips pembahasan di atas juga bukan hal yang mutlak. Semua orang tentu punya persepsi dan juga prioritas yang berbeda-beda. Ingat pasal nusronisme: yang tahu persis maksud dan tafsir tulisan di atas ya hanya penulisnya.
Apalagi rumusan di atas ditulis sambil lalu saat sedang menikmati suasana busway yang padat dan sesak oleh manusia. Hehe… πŸ˜„
Tabik!

link 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar