Senin, 06 Februari 2017

Musim Kemarau Tahun Ini

Penulis: Skylashtar Maryam

Aku selalu menyukai hujan, tapi kali ini hujan menghalangi jalanku pulang. Padahal aku sudah menunggu di ruang tamu, gigil dan kaku. Hujan tidak berhenti sejak tiga hari lalu, semakin deras dan keras. Tubuhku kian getas.
“Bagaimana ini? Hujan turun terus, banjir di mana-mana,” keluh Bapak.
“Apa kita paksakan saja, Pak? Kasihan kan si Teteh kalau nunggu lama,” yang ini suara Ibu.
“Jangan …” sahut Mang Casmin, suami bibiku. “Kita tunggu saja, semoga hujan cepat berhenti.”
Aku selalu menyukai hujan, tapi kali ini hujan menghalangi jalanku pulang. Keluargaku enggan mengantar kepulanganku. Karena hujan.
***
Mereka berbondong-bondong memenuhi halaman rumahku, menginjak-injak rumpun melati yang aku tanam dengan susah payah. Ember-ember yang mereka bawa menyenggol pot-pot kuping gajah hingga nyaris tumpah. Sialan! Orang-orang sialan!
Sementara aku berdiri menangkup tangan di dada, tangan Bapak masih cekatan memegangi selang air, mengisi ember-ember kosong yang dibawa orang-orang kampung. Mulut Bapak menyunggingkan senyum demi senyum, sesekali tertawa dan bersenda gurau dengan kawan sebaya. Ibu sendiri sibuk menyiapkan teh manis dan opak dalam toples-toples besar.
Satu per satu ember penuh diangkut, kemudian diganti dengan ember-ember kosong yang di mataku seperti antrian setan-setan. Bagaimana tidak, mereka, orang-orang yang sedang berduyun mengantri air sambil menyeruput  teh manis dan mengunyah opak itu benar-benar tidak tahu malu.
Dari pagi sampai sore, ada saja orang yang datang meminta air di rumah kami. Bukan seember dua ember, melainkan berember-ember, bahkan beberapa dari mereka membawa jerigen besar.
“Ini musim kemarau yang sangat panjang, Teh. Sumur-sumur tetangga kita sudah kering sementara sumur kita masih memiliki air. Biarkan saja mereka meminta air di sini,” bela Ibu ketika aku protes.
“Emangnya pompa air itu tidak pakai listrik, Bu? Memangnya siapa yang bayar listrik? Saya kan Bu. Saya yang bekerja membanting tulang untuk membayar tagihan listrik yang pasti besar bulan ini,” bibirku mengerucut.
“Nanti juga ada rezekinya, Teh,” masih kata Ibu sembari tangannya sibuk menyodorkan toples-toples kepada orang-orang semakin ramai berdatangan.
“Ada rezekinya gimana? Mereka nggak bayar, kan? Enak aja! Maunya gratisan. Di kota air itu dijual, Bu. Coba kalau Ibu sama Bapak jual juga. Kan lumayan untuk bayar listrik,” aku masih menggerutu.
Ya, ini jaman ketika berbagai benda diperjualbelikan. Tidak terkecuali air. Orang-orang ini enak-enakan saja meminta air tanpa memikirkan biaya listrik. Sementara aku pasti harus mengalokasikan dana lebih banyak untuk biaya listrik bulan ini. Gajiku memang cukup besar, tapi kalau begini caranya, aku bisa batal membeli sepatu bermerk yang aku incar sejak dua bulan lalu. Sialan! Orang-orang sialan!
Hari Mingguku hancur seketika. Padahal aku ingin sekali lesehan di kamar, menikmati musik dan membaca buku setelah sepanjang minggu berkutat dengan dokumen-dokumen kantor dan teriakan buyer. Tapi bagaimana aku bisa santai jika di halaman rumah ribut sekali. Beberapa orang tetangga malah bolak-balik ke kamar mandi, numpang mandi, ada juga yang numpang mencuci.
Aarrggghh… menyebalkan.

***
“Pokoknya mulai besok saya melarang Bapak membagi-bagikan air kepada siapa saja. Kalau mau, mereka harus beli,” aku duduk di hadapan Bapak.
“Lha, air itu kan rahmat dari Gusti Allah, Teh. Masa iya dijual-jual? Lagipula, mereka yang meminta air kan tetangga kita sendiri, saudara kita sendiri,” Bapak memandangku dengan tatapan heran.
“Tapi pompa air itu kan harus pake listrik, Pak. Nah listrik itu bukan barang gratis, harus dibayar. Terus siapa yang bayar listrik kalau bukan saya? Orang-orang itu juga menginjak rumpun melati yang sudah susah payah saya tanam. Coba lihat Ibu, Pak. Sibuk menyiapkan teh manis, penganan. Apa-apan itu? Memangnya semua suguhan itu tidak dibeli? Gula, gas untuk memasak, minyak goreng, teh, opak, rangginang. Itu semua dibeli dengan uang, Pak. Uang saya,” tanganku terkepal.
Bapak diam. Wajahnya mengelam. Aku tahu, kalau urusan uang Bapak pasti tidak bisa berkutik. Toh bukan dia yang bekerja untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Sejak jatuh dari lantai dua bangunan yang sedang dia kerjakan dan kaki Bapak patah, Bapak tidak bekerja lagi. Ia diam di rumah sejak dua tahun lalu, membuat kerajinan sangkar burung pun hanya sekadar hobi. Hasilnya ia bagikan kepada teman-temannya sesama pecinta burung peliharaan. Yang tentu saja tidak menghasilkan uang.
Dalam dua tahun ini, tugas kepala rumah tangga jatuh ke pundakku sebagai anak tertua. Kedua orang adik perempuanku masih kuliah. Yang satu semester enam yang satu lagi baru semester satu. Dan siapa lagi yang membiayai mereka kalau bukan aku? Lalu orang-orang yang mengaku tetangga itu sekarang mau menambah bebanku dengan membebani biaya listrik? Cuih!
“Anggap saja beramal, Teh. Shodaqoh. Tidak bisa memberi uang ya kita beri air,” Ibu datang dan menangkupkan tangan di pundakku.
“Mereka juga kerja, Bu. Punya penghasilan. Masa maunya gratisan terus? Ya walau kita tidak minta pun, seharunya mereka mengerti, dong.”
“Ibu tidak mendidik kamu untuk menjadi orang kikir seperti ini, Teh,” Ibu menghela nafas.
Aku mendengus. “Saya bukannya kikir, Bu. Tapi realistis. Ibu tahu realistis? Jaman sekarang jadi orang baik saja susah, harus jadi orang pintar. Saya punya penghasilan besar bukan karena jadi orang baik, tapi karena jadi orang pintar,” orasiku.
Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Terserah kamu lah, Teh. Yang jelas Ibu dan Bapak tetap tak mau jualan air.”
“Terserah! Pokoknya saya tidak mau membayar uang listrik bulan ini!” aku bangkit meninggalkan mereka dengan rasa marah yang kentara.
***
Musim kemarau tahun ini, angin kering bertiup dari berbagai arah, membawa berbagai aroma peradaban yang tak pernah berhenti berlari. Jika dulu kampung kami dikelilingi oleh perkebunan dan tegalan ilalang yang menerbangkan angin segar meski musim kemarau, tahun ke tahun aroma itu berubah menjadi aroma aspal dan asap yang menyesakkan.
Dan di setiap musim kemarau seperti inilah, tetanggaku berubah menjadi orang-orang tak tahu malu yang menyebalkan. Setiap pagi, ada saja yang meminta air, dan Bapak akan dengan senang hati melayani mereka. Tangan Bapak tidak berhenti mengucurkan air dari kran yang dipasang di halaman. Air yang memakai pompa, pompa yang memakai listrik, listrik yang harus dibayar dengan uangku. Uangku!
Aku semakin geram.
Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau musim kemarau masih panjang dan sumur-sumur mereka kekeringan, maka kantongku juga akan ikut kekeringan.
Aku harus bertindak. Harus. Kalau tidak, biaya listrik bulan depan juga akan membengkak seperti bulan ini. Bayangkan saja, tiga ratus enam puluh ribu untuk listrik saja. Padahal biasanya aku hanya membayar sekitar setengahnya. Kalau saja tidak dipakai membayar listrik, tentu aku bisa membeli sepatu idamanku.
Musim kemarau mungkin masih panjang, dan kantongku akan semakin terjerang.
Maka di tengah malam buta, aku mengendap ke halaman belakang rumah tempat sumur kami berada. Aku sudah mengisi semua bak di kamar mandi untuk keperluan pagi nanti. Aku akan mencopot pompa air dan menyembunyikannya. Biar orang-orang itu tidak seenaknya saja meminta air. Kalau mereka mau, biar mereka menimbanya sendiri dari sumur. Supaya tahu bagaimana capeknya aku mencari uang.
Lampu beranda belakang temaram, senter dan tali di tanganku berpendar. Ketika kulongokkan kepala ke dalam sumur, riak air gelap seakan mengejekku. Ah, sumur kami masih penuh sepertinya. Karena aku menyediakan lahan untuk resapan air.
Tertatih kumasuki sumur setelah mengikatkan tali di pinggangku dan mengikat simpul yang satunya lagi ke pohon nangka di sebelah sumur. Sialan! Kenapa juga Bapak harus memasang pompa di dalam sumur, bukan di luar?
Udara pengap. Gelap.
Tanganku berusaha mencopot pipa-pipa yang terpasang di pompa, tubuhku bergelantungan dengan sebelah kaki pada pijakan dan sebelah lagi tergantung di udara.
Udara pengap. Gelap.
Pompa air itu berhasil aku lepas. Aku nyaris tertawa membayangkan orang-orang tak tahu malu itu menimba air sendiri dengan berlelehan peluh. Rasakan! Tapi pompa air ini berat sekali, semakin berat karena kedua kakiku tidak berpijak dengan sempurna.
Udara pengap. Gelap.
Pompa air semakin berat.
Udara semakin pengap. Semakin gelap.
Pompa air terjatuh. Aku terjatuh.
Pengap. Gelap.
Lalu air, aku melihat banyak sekali air.
***
Aku selalu menyukai hujan, tapi kali ini hujan menghalangi jalanku pulang. Padahal aku sudah menunggu di ruang tamu, gigil dan kaku. Hujan tidak berhenti sejak tiga hari lalu, semakin deras dan keras. Tubuhku kian getas.
“Kuburnya sudah digali. Tapi kebanjiran terus. Digali lagi, banjir lagi,” suara Mang Dodo, tetanggaku menyeruak. “Barusan saya dari sana.”
Bapak tertunduk. Ibu mulai terisak.
Sejenak Mang Dodo diam, memandang ke arahku dengan tatapan yang kutahu adalah rasa kasihan, bukan tatapan dendam, bukan rasa kesal yang selama ini aku hantarkan untuknya. Mang Dodolah yang paling sering meminta air dan membawa jerigen besar  hampir setiap hari.
“Bagaimana ini, Yi?” Bapak menoleh pada Mang Casmin. “Sudah tiga hari, si Teteh belum juga bisa dikuburkan, apa kita kuburkan saja sekarang?”
Mang Casmin termenung, memandangku yang terbujur kaku di tengah ruang tamu berbalut kafan dan kain batik.
“Kang Dadang punya banyak ember?” tanya Mang Dodo kepada Bapak.
“Punya, kenapa?” 
Mang Dodo tidak menjawab melainkan menghambur keluar lalu kembali dengan beberapa orang tetangga yang menenteng ember serta payung.
“Ayo kita kuburkan, jangan ditunda-tunda lagi. Kasihan almarhumah. Biar saya dan beberapa orang mengeluarkan air dari liang kubur dan yang lainnya memayungi,” mata Mang Dodo berbinar. Ia mengacungkan ember yang ia bawa. Ember yang dulu aku kutuki.
Wajah Bapak berbinar cerah. “Panggil yang lainnya. Kita kuburkan almarhumah sekarang.”
Bukan uang yang akan mengantarku pulang, melainkan ember-ember dan air hujan. Air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar