Penulis: Skylashtar Maryam
Aku
selalu menyukai hujan, tapi kali ini hujan menghalangi jalanku pulang.
Padahal aku sudah menunggu di ruang tamu, gigil dan kaku. Hujan tidak
berhenti sejak tiga hari lalu, semakin deras dan keras. Tubuhku kian
getas.
“Bagaimana ini? Hujan turun terus, banjir di mana-mana,” keluh Bapak.
“Apa kita paksakan saja, Pak? Kasihan kan si Teteh kalau nunggu lama,” yang ini suara Ibu.
“Jangan …” sahut Mang Casmin, suami bibiku. “Kita tunggu saja, semoga hujan cepat berhenti.”
Aku
selalu menyukai hujan, tapi kali ini hujan menghalangi jalanku pulang.
Keluargaku enggan mengantar kepulanganku. Karena hujan.
***
Mereka
berbondong-bondong memenuhi halaman rumahku, menginjak-injak rumpun
melati yang aku tanam dengan susah payah. Ember-ember yang mereka bawa
menyenggol pot-pot kuping gajah hingga nyaris tumpah. Sialan!
Orang-orang sialan!
Sementara
aku berdiri menangkup tangan di dada, tangan Bapak masih cekatan
memegangi selang air, mengisi ember-ember kosong yang dibawa
orang-orang kampung. Mulut Bapak menyunggingkan senyum demi senyum,
sesekali tertawa dan bersenda gurau dengan kawan sebaya. Ibu sendiri
sibuk menyiapkan teh manis dan opak dalam toples-toples besar.
Satu
per satu ember penuh diangkut, kemudian diganti dengan ember-ember
kosong yang di mataku seperti antrian setan-setan. Bagaimana tidak,
mereka, orang-orang yang sedang berduyun mengantri air sambil
menyeruput teh manis dan mengunyah opak itu benar-benar tidak tahu
malu.
Dari
pagi sampai sore, ada saja orang yang datang meminta air di rumah
kami. Bukan seember dua ember, melainkan berember-ember, bahkan
beberapa dari mereka membawa jerigen besar.
“Ini
musim kemarau yang sangat panjang, Teh. Sumur-sumur tetangga kita
sudah kering sementara sumur kita masih memiliki air. Biarkan saja
mereka meminta air di sini,” bela Ibu ketika aku protes.
“Emangnya
pompa air itu tidak pakai listrik, Bu? Memangnya siapa yang bayar
listrik? Saya kan Bu. Saya yang bekerja membanting tulang untuk
membayar tagihan listrik yang pasti besar bulan ini,” bibirku
mengerucut.
“Nanti
juga ada rezekinya, Teh,” masih kata Ibu sembari tangannya sibuk
menyodorkan toples-toples kepada orang-orang semakin ramai berdatangan.
“Ada
rezekinya gimana? Mereka nggak bayar, kan? Enak aja! Maunya gratisan.
Di kota air itu dijual, Bu. Coba kalau Ibu sama Bapak jual juga. Kan
lumayan untuk bayar listrik,” aku masih menggerutu.
Ya,
ini jaman ketika berbagai benda diperjualbelikan. Tidak terkecuali
air. Orang-orang ini enak-enakan saja meminta air tanpa memikirkan
biaya listrik. Sementara aku pasti harus mengalokasikan dana lebih
banyak untuk biaya listrik bulan ini. Gajiku memang cukup besar, tapi
kalau begini caranya, aku bisa batal membeli sepatu bermerk yang aku
incar sejak dua bulan lalu. Sialan! Orang-orang sialan!
Hari
Mingguku hancur seketika. Padahal aku ingin sekali lesehan di kamar,
menikmati musik dan membaca buku setelah sepanjang minggu berkutat
dengan dokumen-dokumen kantor dan teriakan buyer. Tapi
bagaimana aku bisa santai jika di halaman rumah ribut sekali. Beberapa
orang tetangga malah bolak-balik ke kamar mandi, numpang mandi, ada
juga yang numpang mencuci.
Aarrggghh… menyebalkan.