Rabu, 06 Agustus 2014

KESALAHAN MENYIBUKKAN DIRI DALAM PERKARA SUNNAH DENGAN MENINGGALKAN PERKARA FARDHU


Di antara kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang ialah memberikan perhatian yang berlebihan terhadap perkara yang hukumnya sunnah, yang berkaitan dengan shalat, puasa, dan haji daripada perhatian yang diberikan kepada hal-hal yang hukumnya wajib. Kita seringkali melihat pemeluk agama ini yang melakukan qiyam al-lail, kemudian dia pergi ke tempat kerja di mana dia mendapatkan gaji setiap bulan, dengan keadaan loyo tidakmempunyai kekuatan, sehingga dia tidak dapat bekerja dengan baik. 

Kalau dia mengetahui bahwa bekerja dengan baik itu hukumnya wajib berdasarkan hadits "Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu"; mengetahui bahwa mengabaikannya berarti pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan kepadanya; dan mengetahui bahwa dia memakan harta --setiap akhir bulan-- dengan cara yang tidak benar, maka dia tidak akan memperbanyak qiyam lail-nya untuk dirinya sendiri, karena hal itu tidak lebih daripada amalan sunnah, yang tidak diwajibkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Satu hal yang serupa dengan itu ialah orang yang berpuasa sunnah Senin dan Kamis, habis kekuatannya karena berpuasa, khususnya pada hari-hari di musim panas. Akhirnya dia pergi ke tempat kerja dengan tubuh yang lemas dan tidak bergairah. 

Dengan demikian dia banyak mengesampingkan kemaslahatan orang banyak karena dia mendahulukan puasa. Puasa sunnah dan tidak wajib bagi dirinya. Padahal pada masa yang sama melaksanakan kemaslahatan orang banyak itu merupakan suatu kewajiban atas dirinya. Nabi saw melarang wanita untuk melakukan puasa sunnah ketika suaminya berada di rumah, tidak bepergian jauh, kecuali dengan izin suaminya. Karena sesungguhnya suami mempunyai hak atas dirinya yang lebih wajib dia Iakukan daripada puasa sunnah. 

Perkara yang serupa dengan ini adalah ibadah haji dan umrah yang hukumnya sunnah. Banyak sekali orang Islam yang melakukan ibadah haji untuk yang kelima kalinya, kesepuluh, keduapuluh, bahkan keempatpuluh. Dia senantiasa melaksanakan ibadah umrah pada bulan Ramadhan, mengeluarkan biaya yang sangat besar. Padahal pada masa yang sama banyak sekali kaum Muslimin yang meninggal dunia karena kelaparan --betul-betul dan tidak hanya kiasan-- di beberapa negeri. Misalnya di Somalia; sedangkan kaum Muslimin yang lainnya sedang menghadapi pembunuhan massal, sebagaimana yang kita saksikan di Bosnia Herzegovina, Palestina, Kasymir dan negeri-negeri lainnya. Mereka sangat memerlukan bantuan dari saudara-saudara mereka, untuk memberi makanan kepada orang-orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang-orang yang telanjang, mengobati orang sakit, memberi tempat tinggal kepada orang yang kehilangan tempat tinggal, untuk memelihara anak yatim, memelihara orang tua, para janda, dan orang-orang cacat karena perang, dan juga untuk membeli senjata agar mereka dapat mempertahankan diri. 

Sedangkan kaum Muslimin yang lainnya menghadapi perang terhadap kristenisasi yang berlaku di daerah mereka, di mana mereka tidak memiliki sekolah sebagai tempat belajar, masjid untuk shalat, rumah untuk mendidik anak, rumah sakit untuk menyembuhkan orang-orang sakit, gedung pusat dakwah, dan buku-buku sebagai bahan bacaan... Pada masa yang sama kita menemukan 70% jamaah haji setiap tahun adalah orang yang pernah melakukan ibadah haji sebelumnya. Mereka hanya melakukan ibadah haji sunnah, yang untuk ini mereka mengeluarkan ratusan juta untuk keperluan diri mereka sendiri. 

Kalau mereka betul-betul memahami ajaran agama mereka, dan mengetahui sedikit tentang fiqh prioritas, maka mereka akan mendahulukan penyelamatan saudara-saudara Muslim mereka daripada merasakan kenikmatan ruhani ketika melakukan ibadah haji atau umrah. Jika mereka menghayati perkara ini secara betul-betul maka mereka akan merasakan kenikmatan yang lebih dalam dan dahsyat ketika mereka menyelamatkan kaum Muslimin daripada kenikmatan yang mereka rasakan ketika melaksanakan ibadah tersebut yang kadang-kadang diliputi dengan keinginan untuk menampakkannya kepada orang lain atau riya' di mana orang yang melakukannya tidak merasakan hal itu Ucapan Imam al-Raghib yang Cemerlang Para fuqaha Islam telah menetapkan bahwasanya Allah SWT tidak akan menerima ibadah yang sunnah sampai ibadah yang fardhu telah dilaksanakan. Imam al-Raghib mengemukakan pendapat sehubungan dengan perbandingan antara berbagai fardhu dalam ibadat, dan perkara-perkara mulia yang hukumnya sunnah. 

Dia mengatakan sesuatu yang sangat baik: "Ketahuilah, sesungguhnya ibadah itu lebih luas daripada kemuliaan (al-makramah). Sesungguhnya setiap perbuatan yang mulia adalah ibadah, dan tidak setiap ibadah itu mulia. Di antara perbedaan antara kedua hal ini ialah bahwa ibadah mempunyai perkara-perkara fardhu yang telah diketahui, dan batas-batas yang telah ditetapkan. Barang siapa yang meninggalkannya, maka dia dianggap melanggar batas. Sedangkan perbuatan yang mulia adalah sebaliknya. 

Manusia tidak akan sempurna kemuliaannya selama dia belum melakukan kewajiban-kewajiban dalam ibadahnya. Oleh karena itu, melaksanakan kewajiban dalam ibadah merupakan sesuatu yang adil, sedangkan melaksanakan kemuliaan merupakan sesuatu yang hukumnya sunnah. Perbuatan yang sunnah tidak akan diterima oleh Allah SWT dari orang yang mengabaikan hal-hal yang wajib. Dan orang yang meninggalkan kewajiban tidak dianjurkan untuk mencari keutamaan dan kelebihan, karena mencari kelebihan tidak dibenarkan kecuali setelah seseorang melakukan keadilan. Sesungguhaya keadilan merupakan sesuatu yang wajib, dan keutamaan adalah tambahan atas yang wajib. Bagaimana mungkin ada tambahan terhadap sesuatu yang dia sendiri masih kurang. 

Oleh karena itu benarlah ucapan: 'Orang yang mengabaikan perkara-perkara yang pokok tidak akan sampai kepada tujuan'." Barangsiapa yang disibukkan dengan perkara fardhu sehingga dia tidak dapat mencari tambahan, maka dia dimaafkan. Dan barangsiapa yang disibukkan untuk mencari tambahan dengan mengabaikan perkara yang fardhu maka dia tertipu"

Allah SWT telah mengisyaratkan agar keadilan benar-benar dilaksanakan, dan kemuliaan dilakukan dengan baik. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..." (an-Nahl: 90) 

Referensi: Fiqh Prioritas karya Dr. Yusuf Al-Qardhawi Cermati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar