Di antara kesalahan yang dilakukan oleh banyak orang ialah
memberikan perhatian yang berlebihan terhadap perkara yang hukumnya
sunnah, yang berkaitan dengan shalat, puasa, dan haji daripada perhatian
yang diberikan kepada hal-hal yang hukumnya wajib.
Kita seringkali melihat pemeluk agama ini yang melakukan qiyam al-lail,
kemudian dia pergi ke tempat kerja di mana dia mendapatkan gaji
setiap bulan, dengan keadaan loyo tidakmempunyai kekuatan, sehingga
dia tidak dapat bekerja dengan baik.
Kalau dia mengetahui bahwa
bekerja dengan baik itu hukumnya wajib berdasarkan hadits
"Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu";
mengetahui bahwa mengabaikannya berarti pengkhianatan terhadap
amanat yang diberikan kepadanya; dan mengetahui bahwa dia memakan
harta --setiap akhir bulan-- dengan cara yang tidak benar, maka dia
tidak akan memperbanyak qiyam lail-nya untuk dirinya sendiri, karena
hal itu tidak lebih daripada amalan sunnah, yang tidak diwajibkan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Satu hal yang serupa dengan itu ialah orang yang berpuasa sunnah
Senin dan Kamis, habis kekuatannya karena berpuasa, khususnya pada
hari-hari di musim panas. Akhirnya dia pergi ke tempat kerja dengan
tubuh yang lemas dan tidak bergairah.
Dengan demikian dia banyak
mengesampingkan kemaslahatan orang banyak karena dia mendahulukan puasa.
Puasa sunnah dan tidak wajib bagi dirinya. Padahal pada masa yang
sama melaksanakan kemaslahatan orang banyak itu merupakan suatu
kewajiban atas dirinya.
Nabi saw melarang wanita untuk melakukan puasa sunnah ketika suaminya
berada di rumah, tidak bepergian jauh, kecuali dengan izin suaminya.
Karena sesungguhnya suami mempunyai hak atas dirinya yang lebih
wajib dia Iakukan daripada puasa sunnah.
Perkara yang serupa dengan ini adalah ibadah haji dan umrah yang
hukumnya sunnah. Banyak sekali orang Islam yang melakukan ibadah haji
untuk yang kelima kalinya, kesepuluh, keduapuluh, bahkan keempatpuluh.
Dia senantiasa melaksanakan ibadah umrah pada bulan Ramadhan,
mengeluarkan biaya yang sangat besar. Padahal pada masa yang sama
banyak sekali kaum Muslimin yang meninggal dunia karena kelaparan
--betul-betul dan tidak hanya kiasan-- di beberapa negeri. Misalnya di
Somalia; sedangkan kaum Muslimin yang lainnya sedang menghadapi
pembunuhan massal, sebagaimana yang kita saksikan di Bosnia
Herzegovina, Palestina, Kasymir dan negeri-negeri lainnya. Mereka
sangat memerlukan bantuan dari saudara-saudara mereka, untuk memberi
makanan kepada orang-orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada
orang-orang yang telanjang, mengobati orang sakit, memberi tempat
tinggal kepada orang yang kehilangan tempat tinggal, untuk memelihara
anak yatim, memelihara orang tua, para janda, dan orang-orang
cacat karena perang, dan juga untuk membeli senjata agar mereka dapat
mempertahankan diri.
Sedangkan kaum Muslimin yang lainnya menghadapi perang terhadap
kristenisasi yang berlaku di daerah mereka, di mana mereka tidak
memiliki sekolah sebagai tempat belajar, masjid untuk shalat, rumah
untuk mendidik anak, rumah sakit untuk menyembuhkan orang-orang
sakit, gedung pusat dakwah, dan buku-buku sebagai bahan bacaan...
Pada masa yang sama kita menemukan 70% jamaah haji setiap tahun
adalah orang yang pernah melakukan ibadah haji sebelumnya.
Mereka hanya melakukan ibadah haji sunnah, yang untuk ini
mereka mengeluarkan ratusan juta untuk keperluan diri mereka sendiri.
Kalau mereka betul-betul memahami ajaran agama mereka, dan
mengetahui sedikit tentang fiqh prioritas, maka mereka akan
mendahulukan penyelamatan saudara-saudara Muslim mereka daripada
merasakan kenikmatan ruhani ketika melakukan ibadah haji atau umrah.
Jika mereka menghayati perkara ini secara betul-betul maka mereka
akan merasakan kenikmatan yang lebih dalam dan dahsyat ketika
mereka menyelamatkan kaum Muslimin daripada kenikmatan yang mereka
rasakan ketika melaksanakan ibadah tersebut yang kadang-kadang
diliputi dengan keinginan untuk menampakkannya kepada orang lain atau
riya' di mana orang yang melakukannya tidak merasakan hal itu
Ucapan Imam al-Raghib yang Cemerlang
Para fuqaha Islam telah menetapkan bahwasanya Allah SWT tidak akan
menerima ibadah yang sunnah sampai ibadah yang fardhu telah
dilaksanakan.
Imam al-Raghib mengemukakan pendapat sehubungan dengan
perbandingan antara berbagai fardhu dalam ibadat, dan
perkara-perkara mulia yang hukumnya sunnah.
Dia mengatakan sesuatu
yang sangat baik: "Ketahuilah, sesungguhnya ibadah itu lebih luas
daripada kemuliaan (al-makramah). Sesungguhnya setiap perbuatan yang
mulia adalah ibadah, dan tidak setiap ibadah itu mulia. Di antara
perbedaan antara kedua hal ini ialah bahwa ibadah mempunyai
perkara-perkara fardhu yang telah diketahui, dan batas-batas yang telah
ditetapkan. Barang siapa yang meninggalkannya, maka dia dianggap
melanggar batas. Sedangkan perbuatan yang mulia adalah sebaliknya.
Manusia tidak akan sempurna kemuliaannya selama dia belum melakukan
kewajiban-kewajiban dalam ibadahnya. Oleh karena itu,
melaksanakan kewajiban dalam ibadah merupakan sesuatu yang adil,
sedangkan melaksanakan kemuliaan merupakan sesuatu yang hukumnya sunnah.
Perbuatan yang sunnah tidak akan diterima oleh Allah SWT dari orang
yang mengabaikan hal-hal yang wajib. Dan orang yang meninggalkan
kewajiban tidak dianjurkan untuk mencari keutamaan dan kelebihan,
karena mencari kelebihan tidak dibenarkan kecuali setelah seseorang
melakukan keadilan. Sesungguhaya keadilan merupakan sesuatu yang
wajib, dan keutamaan adalah tambahan atas yang wajib. Bagaimana
mungkin ada tambahan terhadap sesuatu yang dia sendiri masih kurang.
Oleh karena itu benarlah ucapan: 'Orang yang mengabaikan
perkara-perkara yang pokok tidak akan sampai kepada tujuan'."
Barangsiapa yang disibukkan dengan perkara fardhu sehingga dia tidak
dapat mencari tambahan, maka dia dimaafkan. Dan barangsiapa
yang disibukkan untuk mencari tambahan dengan mengabaikan perkara
yang fardhu maka dia tertipu"
Allah SWT telah mengisyaratkan agar
keadilan benar-benar dilaksanakan, dan kemuliaan dilakukan dengan baik.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan..." (an-Nahl: 90)
Referensi: Fiqh Prioritas karya Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Cermati